Sunday, September 5, 2010

DANAU KELIMUTU, ABANDONED WONDER OF THE WORLD

Only in Indonesia, ada Danau Kawah dengan Air yang berbeda-beda warna. Itulah Danau Kawah Kelimutu, yang terbujur di Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Fenomena Geologis ini terkesan AJAIB dan HANYA ada di Danau Kelimutu, di Indonesia, Negeri Tercinta, Tanah Air Kita.

Danau Kawah Kelimutu sebenarnya adalah Danau Kawah dari Gunung Berapi Kelimutu (1,690 m), yang memiliki total 3 (Tiga) Danau Kawah di Puncaknya yang Airnya berbeda warna.

Nama Ketiga Kawah Tersebut Adalah:

1) Tiwu Ata Mbupu; artinya Tempat Roh Orang Tua – Berwarna Putih
2) Tiwu Nuwa Muri Koo Fai; artinya Tempat Roh Muda-Mudi – Berwarna Hijau Zamrud
3) Tiwu Ata Polo; artinya Tempat Roh Orang Jahat – Berwarna Merah Darah

Namun, warna pada ketiga Danau Kawah Kelimutu tersebut bisa berubah-ubah. Masyarakat Etnik Lio yang menghuni sekitar Danau meyakini Kawasan tersebut sebagai Kampung Leluhur Mereka yang amat sakral. Nama Kelimutu sendiri berasal dari kata ‘keli’ yang berarti gunung; dan ‘mutu’ yang berarti ‘berkumpul’.

Amat Disayangkan, Potensi Pariwisata Kawasan Kelimutu belum dikelola secara maksimal. Sebuah Keajaiban Dunia yang Dianugerahkan Tuhan YME kembali (lagi) ditelantarkan oleh Manusia yang mendiami Tanah dan Air ini. Ampuni Kami Tuhan, atas segala Dosa dan Kekhilafan Kami!

Mari Kita Melakukan Tindakan Nyata Untuk Negeri Ini, untuk Indonesia yang Lebih Baik Lagi, Untuk INDONESIA PARIPURNA!

Sebarkan Tulisan Ini, Bangunkan Bangsa Ini dari Ketidak-acuhan-nya!
Wahai Bangsa Garuda, Bangun dari Tidurmu, dan Terbanglah ke Angkasa Raya Tertinggi, melewati Batas Cakrawala!

Jakarta, 6 September 2010

AGUS SALIM
(Inisiator INDONESIA PARIPURNA)
Facebook: tjan_agus_salim@yahoo.com
Blog: www.agussalimforindonesia.blogspot.com

INDONESIA PARIPURNA
Website: www.indonesiaparipurna.wordpress.com
Email: indonesiaparipurna@yahoo.com

Referensi:

A) Surat Kabar:

Kompas – Sabtu, 4 September 2010
Samuel Oktora dan Khairul Anwar; Kelimutu, Dijaga Kicau Burung Arwah
Samuel Oktora dan Khairul Anwar; Giliran Mutu Penghuninya

B) Website:
Wikipedia – www.wikipedia.com

Monday, March 1, 2010

Darah dan Airmata Naga di Bumi Garuda

Darah dan Airmata Naga di Bumi Garuda

Jakarta, 2 Maret 2010

Besok malam, Festival Cap Go Meh yang sudah diadakan sejak pekan lalu di JIExpo, Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, akan ditutup. Malam penutupannya akan menjadi begitu meriah. Kontras dengan hiruk-pikuk keceriaan malam penutupan Festival Cap Go Meh 2010 nanti, yang rencananya juga akan dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bertabur selebriti Ibukota keturunan-Tionghoa, seperti Alena, Delon, Gisel; dan juga dipadati para undangan dan penonton, Insan Muda Indonesia mempublikasikan tulisan ini sebagai bahan perenungan terhadap kisah tragedi Tionghoa di Indonesia. Etnis Tionghoa sudah lama menetap di Nusantara, dan seharusnya sudah menjadi bagian dari senyawa Bangsa Indonesia, akan tetapi selalu dianggap ‘orang-asing’, akibat pencitraan terencana dan disengaja oleh otoritas kekuasaan Kolonialisme Belanda (1603-1942) , yang kemudian diwarisi oleh anak-ideologisnya, Orde Baru (1966-1998).

Etnis Tionghoa sudah datang jauh lebih awal sebelum kedatangan Kolonialis-Imperialis Belanda pada abad ke-16. Kedatangan Armada Raksasa Dinasti Ming China dibawah Laksamana Cheng Ho ke Nusantara masih meninggalkan jejak sejarah di Kelenteng Sam Po Kong, Semarang. Gavin Menzies dalam bukunya “1421: The Year China Discovered America” yang diterbitkan tahun 2008 dan menjadi International Bestseller, menyatakan bahwa Armada China dibawah Laksamana Cheng Ho telah menemukan Benua Amerika pada tahun 1421, jauh sebelum Columbus menemukannya pada tahun 1492. Yang patut dicatat dari temuan Gavin Menzies adalah ikhwal kedigdayaan dan keperkasaan Armada Ming-China dibawah Cheng Ho, baik dalam hal Visi-Misi, jarak pelayaran, teknologi perkapalan, besar dan jumlah armada kapal, juga strategi kepemimpinan dan manajemen dari Zheng Ho (China) yang jauh luar biasa melampaui Columbus (Spanyol). Dengan Kedigdayaan Armada Angkatan Lautnya, saat itu Dinasti Ming China adalah Superpower Dunia, dan dapat melakukan ekspansi dan aneksasi kolonial ala Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda, dan negara-negara Eropa lainnya, jika China berkehendak demikian. Namun, sayangnya, [dan mungkin juga, untungnya], China tidak mempunyai nafsu kolonialis-imperial nan rakus seperti itu. That’s simply not the Chinese Way! No No! This is because The Chinese Way of Thinking grounds on Confucianism. Fondasi pemikiran China yang dilandasi Confucianisme selalu mengharamkan perang, agresi, dan pertumpahan darah, dan mengagungkan harmoni alam semesta, melalui etika dan moralitas yang akan menjadi konsensus dalam hubungan-hubungan dalam masyarakat. (Dalam Confucianisme dikenal sebagi 5 Hubungan, yaitu Hubungan antara: Ayah – Anak; Saudara Tua – Saudara Muda, Suami – Istri; Sesama Sahabat; dan Raja – Abdi & Rakyat)

Confucianisme adalah suatu filosofi yang dirumuskan oleh Confucius (551 – 479 SM). China saat itu sedang dilanda perang saudara antar-negara vasal yang memperebutkan hegemoni tertinggi di daratan China setelah otoritas pusat Kekaisaran Dinasti Chou (1045 – 256 SM) melemah. Fondasi Moral yang menjadi Sistem Etika, Budaya, dan Sosial yang dirumuskan oleh Raja Zhou Wen Wang (memerintah 1050 – 1046 SM), dan anaknya Raja Zhou Wu Wang (memerintah 1046 – 1043 SM) dalam memerintah bumi dan memimpin manusia, bagaikan dibuang jauh-jauh ke tong sampah. Para Bangsawan dan Adipati hanya memikirkan Politik Kekuasaan untuk Kekuasaan itu sendiri ala Il-Principe nya Nicollo Machiavelli (1469-1527).

Mungkin sudah menjadi sebuah amanat sejarah, apabila perjalanan syiar-pengajaran seorang Nabi selalu ditolak di negeri sendiri dan oleh kaumnya, dimana Yesus ditolak oleh Bangsa Israel, dan Muhammad SAW dimusuhi oleh sukunya sendiri, Bani Quraisy di Mekkah pada awal-syiar kenabian-Nya. Confucius menjalani takdir sejarah yang sama. Meyakini bahwa moralitas dan etika adalah azimat yang dapat menyembuhkan China saat itu, Confucius berusaha mengejawantahkan idealismenya menjadi praksis konkrit melalui usahanya ‘melamar’ lowongan pekerjaan pemerintahan yang strategis pada beberapa Bangsawan dan Adipati, untuk mengadakan suatu perubahan yang dicita-citakannya.

Terbukti, politik bukanlah ranah Confucius. Etika, Moralitas tidak dapat bersenyawa dengan Pragmatisme, Nafsu-Kekuasaan, dan Kepentingan Jangka-Pendek Politis. Berkali-kali Confucius menyingkir, atau terpaksa menyingkir, akhirnya menyerah, dan melupakan mimpinya untuk merealisasikan mimpinya melalui jalan Politik. Berkeliling ke seluruh negeri, sambil mengajar, ia menyebarkan idealismenya akan suatu masyarakat madani yang menjunjung etika, moralitas, dan dipimpin oleh Penguasa yang mempimpin Rakyat dengan Moralitas (semacam Benevolent Ruler ala Plato). Dalam kekecewaan, Confucius akhirnya wafat dalam renta tua usia 73 tahun , tanpa pernah berhasil meraih jabatan politik menentukan untuk merealisasikan idealismenya, namun telah ia semaikan ide itu ke generasi-muda, murid-muridnya, yang selalu mengikutinya selama hidupnya.

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kauhendaki tumbuh
engkau lebih suka membangun
rumah dan merampas tanah

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kauhendaki adanya
engkau lebih suka membangun
jalan raya dan pagar besi

seumpama bunga
kami adalah bunga yang
dirontokkan di bumi kami sendiri

jika kami bunga engkau adalah tembok
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar biji-biji
.....

(Bunga dan Tembok, Wiji Thukul)

Sepeninggal Confucius, China masih luluh-lantak dalam Perang Saudara selama Dua-Abad lebih. Kekuatan Militer dan Kekerasan seakan mampu mengatasi semua masalah, saat Qin Shi Huang menyatukan China melalui ekspedisi militer, untuk kemudian menobatkan dirinya menjadi kaisar dan memulai rezim baru yang dinamai Dinasti Qin yang seumur jagung (221 – 206 BC) yang penuh dengan penindasan, kerja-paksa, pembantaian intelektual yang beroposisi. Semua kekerasan tersebut dilakukan secara terlembaga dan sistematik oleh kekuasaan, seperti yang terjadi dalam Sejarah Indonesia Modern pada masa Pendudukan Jepang (1942-1945) dan Order Baru (1966 – 1998).

Kekerasan tidak pernah menang, Jelata Berontak. Pertama kalinya kelas Petani mengorganisasikan dirinya dan memberontak dibawah Chen Sheng dan Wu Guang. Karl Marx akan berteriak parau: “Kaum Tani seluruh China bersatulah”, seandainya ia hidup di masa itu. Dinasti Qin Sirna, kemudian Dinasti Han berdiri. Pada Masa Dinasti Han inilah, Confucianisme didaulat sebagai ideologi dan sistem-tata-kelola pemerintahan dan sosial-budaya atas seluruh China. Moralitas dan Etika akhirnya mampu membuat Dinasti Han lestari sampai 400 tahun kemudian, untuk tumbang pada tahun 220 M. Dinasti-dinasti selanjutnya tetap meneruskan praktik penyelenggaraan negara dan sistem etika-sosial-moral-budaya yang dilandasi oleh Confucianisme. Saat kebudayaan Yunani, Romawi, Mesir, dan terbilang peradaban lain-lainnya sudah punah, sampai detik ini Kebudayaan China sudah berusia 5000 tahun dan mencapai masa keemasannya kembali. Etika-Moral Confucianisme telah menjadi pengawal peradaban China menghadapi ujian zaman, melewati hadangan dan tantangan sejarah dari Kolonialisme, Imperialisme, Perang Dingin, Modernisasi, Era Informasi Teknologi, dan saat ini Globalisasi.

Orang-Orang Tionghoa mula-mula datang ke Nusantara untuk tujuan perdagangan. Mereka menetap di pesisir pantai, dan sebagian menikah dengan wanita pribumi. Terjadi akulturasi budaya dan religi antara Tionghoa dan penduduk setempat. Tolong-Menolong, Rukun, dan Gotong-Royong terjalin dengan begitu sempurnanya. Sebagian menganut Islam, dan bahkan juga menyebarkan Agama Islam. Tercatat beberapa dari Sembilan Orang Wali Sanga, adalah orang Tionghoa atau mempunyai darah Tionghoa. Bahkan Raden Patah, Pendiri Dinasti Demak; kerajaan Islam pertama di Jawa; sang Patron yang melindungi misi syiar Agama Islam para Wali Sanga, adalah seorang Tionghoa yang bernama asli Jin-Bun. Masalah mulai terjadi, setelah Kolonialis-Imperialis Belanda busuk nan rakus mulai menancapkan kekuasaan dekadennya di Nusantara dan menyebarkan racun Rasialisme di antara Suku, Etnis, dan Agama di Nusantara.

Setelah Jan Pieterszoon Coen merebut Jayakarta pada 30 Mei 1619, dan mengubah namanya menjadi Batavia, ia mengundang orang-orang Tionghoa untuk masuk ke Batavia untuk bersama membangun Batavia. Coen yakin sifat ulet, rajin bekerja-keras, dan hemat Etnis Tionghoa akan mempercepat pembangunan kembali Batavia. Waktu berlalu, etnis Tionghoa menjadi semakin kaya dan makmur dari hasil kerja-keras dan keuletannya. Belanda tidak senang akan hal ini dan mulai merasa iri. Pada tanggal 9 – 10 Oktober 1740, Gubernur Jenderal Belanda saat itu; Adriaan Valckenier (memerintah 1737 – 1741), mengerakkan pasukannya dan melakukan pembantaian pada orang-orang Tionghoa dalam kota Batavia. Massa kulit putih lainnya terprovokasi dan ikut serta dalam amuk massa, menjarah dan membunuhi setiap orang Tionghoa yang dapat ditemui. Tidak ada jumlah korban jiwa yang pasti, namun diperkirakan 5000 – 10,000 orang Tionghoa tewas dalam pembantaian selama 2 hari ini. Konon, Kali Angke menjadi merah oleh darah, dan dari peristiwa inilah Kali Angke mendapatkan namanya (Dalam Dialek China Hokkian, Ang artinya Merah, Kee artinya Sungai / Kali).

Setelah peristiwa pembantaian 1740, orang-orang Tionghoa mengungsi keluar kota, dan tinggal berkelompok dalam kawasan Pecinaan (saat ini kawasan Glodok, dan sekitarnya, pada masa itu kawasan ini terletak di luar benteng kota Batavia). Belanda mengeluarkan peraturan hukum yang melarang orang Tionghoa keluar dari kawasan tanpa izin, dilokalisasi layaknya Pekerja Seks Komersial.

Keculasan Belanda tidak cukup sampai disana saja, kemampuan dagang dan keuletan orang Tionghoa dimanfaatkan. Mereka ditunjuk sebagai distributor hasil bumi, pemungut pajak, dan juga bandar tol dan candu. Fugsi ekonomi Tionghoa dimanfaatkan, dan mereka dikondisikan untuk berhadapaan head-to-head dengan Jelata Miskin yang mayoritas adalah Pribumi. Belanda juga mengeluarkan peraturan hukum yang menggolongkan pembagian kelas penduduk berdasarkan Ras, dimana golongan Eropa berada pada puncak piramida, Timur Asing (termasuk di dalamnya Tionghoa, Arab, Jepang, dll) pada posisi tengah, dan Bumiputra / Pribumi pada strata sosial terendah. Timbullah kebencian dan kecemburuan sosial yang memang sengaja diciptakan, dipelihara, dan dilanggengkan oleh sistem kekuasaan.

Sejak tahun 1945, Indonesia sudah merdeka. Proklamasi dan Perang Kemerdekaan telah membebaskan Indonesia dari kekuasaan politik Belanda. Namun Bibit Rasialisme yang disemaikan Belanda telah tumbuh menjadi Pohon Raksasa Diskriminasi Rasial yang secara sadar dan tidak sadar sudah berurat akar dalam kesadaran kolektif Bangsa ini. Kerusuhan dan Pembantaian Etnis Tionghoa terus terjadi Pasca Kemerdekaan: Bandung (10 Mei 1963), Pekalongan (31 Desember 1972), Palu (27 Juni 1973), Bandung (5 Agustus 1973), Ujungpandang (April 1980), Medan (12 April 1980), Solo (20 November 1980), Surabaya (September 1986), Purwakarta (1 November 1995), Pekalongan (20 November 1995), Bandung (14 January 1996), Sanggauledo (30 Desember 1996), Rengasdengklok (30 January 1997), Ujungpandang (15 September 1997), dan mencapai puncaknya di tahun 1998.

Mulai bulan January 1998 terjadi kerusuhan dan kekerasan Anti-Tionghoa di Kraksaan, Donggala, Sumbawa, Flores, Jatiwangi, Losari, Gebang, Pamanukan, Lombok, Rantauprapat, Aeknabara, Medan, Belawan, Pulobrayan, Lubuk-Pakam, Perbaungan, Tebing-Tinggi, Pematang-Siantar, Tanjungmorawa, Pantailabu, Galang, Pagarmerbau, Berngin, Batangkuis, Percut Sei Tuan. Semua berpuncak pada Tragedi Mei 1998. Orde Baru dibawah Soeharto akhirnya tumbang, dengan darah dan airmata etnis-Tionghoa sebagai salah satu tumbalnya. Kekuasaan Orde Baru yang tegak dengan melanggengkan politik SARA ala Belanda akhirnya harus turun dari panggung sejarah dengan sebuah Kerusuhan Rasial. Tanah Pertiwi basah oleh darah dan airmata etnis Tionghoa yang menggenang, namun raungan tangisnya dianggap sepi kekuasaan. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998, yang dibentuk oleh kekuasaan karena desakan publik dan internasional yang kuat untuk mengusut tuntas Tragedi Kerusuhan Mei 1998, seakan berusaha memperkecil besar dan skala kekerasaaan fisik dan pemerkosaan seksual yang telah terjadi pada Etnis Tionghoa, yang juga Warga Negara Indonesia. Diskriminasi warisan Belanda masih terjadi, meskipun Indonesia bukan lagi jajahan Belanda.

Pembunuhan terhadap Tionghoa terus terjadi, baik secara jasmani maupun rohani, secara budaya maupun historis. Dosa dan Aib mereka diumbar, dimana nama Tionghoa mereka diekspos dengan Huruf Kapital di Media Massa, sementara jasa mereka yang telah mengharumkan Bangsa ini diperkecil artinya. Kita berani berteriak mengutuk Anggoro, Anggodo, Arthalita (A-Yin), Edi Tansil, dan lain-lain nama antagonis dengan lantang bahwa mereka Tionghoa. Tapi apakah kita tahu bahwa: Johannes Surya, sang fisikawan; Susi Susanti dan Alan Budikusuma, pasangan emas Olimpiade Barcelona 1992, dan Chris John, sang Jawara Tinju kelas Dunia; berasal dari etnis Tionghoa?

Belanda sudah lama pergi, adalah bodoh apabila kita masih belum bisa mematahkan kutuk Rasialisme yang ditanamkan belanda di bumi pertiwi, Indonesia Tercinta ini.

Persatuan Sejati antara segenap anak bangsa dari Sabang-Sampai-Meruke, tanpa memandang Suku, Agama, dan Etnis, adalah satu-satunya jalan yang akan membawa Indonesia mencapai puncak kejayaannya. Dengan Persatuan Sejati yang diikrarkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, hanya dalam waktu 20 tahun, Indonesia mampu menganulir 350 tahun kekuasaan Belanda, dan mencapai kemerdekaan politik.

Kita belum mencapai kemerdekaan sejati. Kemerdekaan Sejati hanya dapat dicapai dengan Persatuan Sejati. Marilah kita lenyapkan segala bentuk Diskriminasi di Nusantara Tercinta ini, demi Indonesia yang lebih baik lagi.

Sunday, February 14, 2010

Bumi Pertiwi Berguncang Menyambut Insan Muda Indonesia

BUMI PERTIWI BERGUNCANG MENYAMBUT INSAN MUDA INDONESIA

Jakarta, 12 Febuary 2010

Apakah ada hubungan antara Bencana Alam (terutama Gunung Meletus dan Gempa Bumi) dengan peristiwa besar dalam Sejarah Sebuah Bangsa? Apakah Alam memberi isyarat atau pertanda akan terjadinya peristiwa besar dalam sejarah anak manusia sebuah Bangsa yang mendiami tanah tersebut? Saya tidak bisa menjawab hal ini dengan suatu pernyataan bernada pasti dalam tanda seru yang besar, namun saya jadi teringat pada potongan lirik lagu Ebiet G Ade berjudul “Berita Kepada Kawan”, yang selalu dipedengarkan kembali di Stasiun TV maupun Radio manakala Negeri ini terguncang bencana alam:

[….]
Barangkali di sana ada jawabnya
Mengapa di tanahku terjadi bencana

Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang
[….]

(Berita Kepada Kawan, Ebiet G Ade)

Yang jelas ‘rumput yang bergoyang’ takkan bisa menjawab sebab musabab azab alam yang dideritakan pada anak-manusia yang mendiaminya. Apakah Tuhan dan Alam melampiaskan rasa Murka atau Suka, ‘rumput bergoyang’-pun tak akan tahu. Akan tetapi Sejarah Manusia mencatat beberapa kali terjadi Tindakan Alam yang berupa Gempa Bumi dan Gunung Meletus yang seakan merupakan signal isyarat yang diberikan Tuhan YME dan Alam kepada Manusia akan Suatu Perubahan Besar dalam Sejarah Sebuah Bangsa.


China, Era Dinasti Han Timur, Masa Pemerintahan Kaisar Han Ling Di (168-189 M)
Bencana alam senantiasa menghiasi lukisan kusam rezim Kaisar Han Ling Di. Banjir Bandang, Kekeringan, Gempa Bumi, semua azab alam dalam wajah paling kejam silih-berganti melanda China. Bahkan tercatat dalam Romance of The Three Kingdom (Kisah Tiga Kerajaan), di suatu tempat di wilayah China, secara ajaib Ayam Jantan berubah menjadi Ayam Betina.

Memang saat itu Dinasti Han Timur (25 – 220 M) sedang mengalami kebobrokan yang akut. Kaisar Han Ling Di lebih memilih melewati hari-harinya dengan pesta pora, mabuk-mabukan dengan minuman keras, dan wanita penghibur. Ia melalaikan tugas pemerintahan dan menyerahkan jalannya pemerintahan kepada Dewan Sida-Sida (Kaum Kebiri Istana) yang dikepalai oleh Zhang Rang yang begitu Korup. Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dipraktikkan dengan telanjang, blak-blakan, dan tanpa rasa sungkan. Para Pejabat Negara yang Bersih dan Jujur, disingkirkan, difitnah, dan dibunuh. Dinasti Han bobrok dalam ketidakberdayaan, digerogoti dari dalam oleh para penyelenggara negaranya sendiri. Dan memang, seakan sederetan bencana alam tersebut mungkin menyiratkan sudah tercabutnya mandat langit (Tien-Ming) dari Kekaisaran Dinasti Han. Pemberontakan Destar Kuning (184-205), yang berawal dari sebuah Sekte Keagamaan Sinkretis Taoisme dan Ilmu Kebatinan, merobek-robek China, meskipun akhirnya berhasil ditumpas dengan susah payah oleh Pemerintah. Dinasti Han yang sudah kehabisan energi, kemudian akhirnya menyerah pada Perang Saudara antara Penguasa Militer Daerah, untuk kemudian Punah dalam Niskala pada 220 M. China masih terpecah untuk 60 tahun kemudian, diwarnai oleh Perang Saudara Panjang nan Seru antara Tiga Kerajaan: Shu, Wu, dan Wei, yang tak kalah kejam dengan Perang Saudara Bharatayudha antara Pandawa dan Kurawa memperebutkan Tahta Hastinapura. Sama seperti Mahabharata, Perang Saudara antara sesama Bangsa China memperebutkan sisa Kekuasaan Dinasti Han, diabadikan dalam “The Romance of The Three Kingdoms” (Kisah Tiga Kerajaan / Sam Kok).

Dalam sadar, sebagai manusia, kita selalu mengagungkan nilai-nilai perdamaian, kerjasama, toleransi, yang disebut oleh Stephen R Covey dalam bukunya “Seven Habits of Highly Effective People” sebagai Interdependensi (Interdependence). Akan tetapi, apakah dalam alam bawah sadar sebenarnya kita menyimpan sebuah nafsu dan naluri kebinatangan yang kejam nan membunuh seperti diformulasikan oleh Sigmund Freud; Sang Bapak Ilmu Psikologi dan Psikoanalisa; sebagai ID dalam tataran model ID-Ego-SuperEgo? Hal ini jelas terihat dengan laris-manis dan abadinya seni-budaya yang mencitrakan kekerasan dalam bentuk paling ekstrimnya, seperti: Film Action, Film Perang dalam karya seni-budaya modern, sampai Epos Kuno semacam Illiad, Oddyssey (Yunani), Mahabharata (India), dan juga Romance of The Three Kingdoms (China). Disinilah letak pentingnya Pendidikan Moral dan Akhlak, sebagai penyeimbang komplementer dari Pendidikan Intelegensia untuk membentuk INSAN MUDA INDONESIA seutuhnya, paripurna dalam Kecerdesan Intelegensia, Moral, Akhlak, Sosial dan Spritual dalam model ESQ (Emotional Spiritual Quotient)-nya Ary Ginanjar Agustian.

China, 28 July 1976
Gempa Bumi dengan kekuatan 7.8 Skala Richter meluluh-lantakkan Kota Tangshan. Kerusakan yang diakibatkan Gempa Bumi Tangshan ini begitu hebatnya: tercatat 242,000 jiwa tewas, dan kerugian diperkirakan 10 Milyar RMB (dalam kurs Rupiah saat ini kurang lebih Rp 15 Trilyun), membuatnya ditahbiskan masuk ke dalam deretan Gempa Paling Merusak di abad ke-20 pada urutan ke-1, dan Gempa Paling Merusak Sepanjang masa pada urutan ke-2 (Setelah Gempa Shaanxi, China; tahun 1556 di urutan ke-1 yang diperkirakan menelan korban jiwa sekitar 830,000 jiwa).

Bangsa China yang telah berkebudayaaan 5000 tahun amat telaten dan tekun mencatat Sejarahnya. Sama seperti Kitab Pararaton dan Negarakertagama yang dianggap sebagai Teks Kuno yang mencatat Babad Dinasti Majapahit, Sejarah China mengenal 24 kitab kuno (Twenty-Four Histories) yang telah disepakati bersama oleh Para Sejarahwan China Modern sebagai Kanon Sejarah China yang valid. Twenty-Four History adalah 24 kitab-kuno tulisan para Sejarahwan China Kuno yang setiap Bukunya didedikasikan mencatat Babad-Hikayat Suatu Masa-Dinasti dan Kaisar-Kaisar yang memerintah dalam Dinasti tersebut. Penulisan Sejarah Suatu Dinasti adalah tugas dari Sejarahwan dari Dinasti Selanjutnya. Terdapat suatu keberlangsungan dan kontinuitas dalam pencatatan Sejarah, sehingga Sejarah benar-benar dihargai. Dan bila hari ini Peradaban Bangsa China Modern dipuji dan puja oleh Dunia, dan didaulat menjadi Super-Power Dunia yang siap menggantikan Amerika Serikat, ada baiknya kita mengingat kembali Sabda terakhir Putra Sang Fajar Bung Karno sebagai Pemimpin kepada Bangsa Indonesia pada Pidato Proklamasi 17 Agustus 1966: JASMERAH (Jangan Sekali-Kali Meninggalkan Sejarah) agar Bangsa Indonesia. Sejarah membuktikan pada Bangsa China dan Dunia bahwa: Bangsa China yang selalu Menghargai Sejarah, terlah menjadi Protagonis dalam Episode sebuah Drama Kebangkitan dan Puncak Kejayaan sebuah Bangsa yang pernah dijuluki “Sick Man of Asia” pada abad ke 19-20 oleh Negara-Negara Imperialis Barat dan Jepang yang menggerayangi Kedaulatan China yang pada masa itu diperintah Kekaisaran Dinasti Qing (1644-1912). Sick Man of Asia sudah ber-transformasi menjadi Superpower of the World.


Tradisi China amat mempercayai terjadinya Bencana Alam Dahsyat sebagai pertanda alam semesta yang akurat memberikan simbol bagi terjadinya perubahan besar dalam Sejarah Bangsa China). Twenty-Four Histories kaya dengan cerita-cerita Bencana Alam yang mejadi Epilog tumbang-runtuhnya sebuah Rezim Dinasti Lama untuk digantikan oleh Pemerintahan Sebuah Dinasti Baru menjadi Epilog-nya. Bencana Alam adalah Suatu pertanda peralihan sebuah zaman sebelumnya dan sesudahnya, Dialog antara Alam dan Manusia melalui Isyarat dan Pertanda akan Suatu Peralihan sebuah Zaman, dan Zaman Peralihan menuju ke Zaman berikutnya!

Gempa Bumi 28 July 1976 seakan memperingatkan sesuatu yang amat besar akan terjadi dalam Sejarah China, dan Seluruh Negeri China sudah bersiap dengan gelisah. Kurang dari 2 bulan kemudian, tepatnya pada 9 September 1976, Mao Ze Dong (1893-1976), Sang Pemimpin Agung, yang masih dipuja bak dewa sampai hari ini meninggal dunia setelah lama tidak muncul di muka public China, karena terasing dalam sakit yang menggerogoti renta tua usianya. Mao Ze Dong, sama Seperti Soekarno, adalah Founding Father bagi Republik Rakyat China, yang diproklamasikan oleh Mao dan kawan-kawan seperjuangannya pada tanggal 1 Oktober 1949, setelah memenangkan Perang Saudara melawan Pemerintahan Nasionalis Kuomintang (1911-1949) di bawah pimpinan Chiang Kai-Shek (1887-1975). Wafatnya Mao Ze Dong tidak lama setelah Gempa Tangshan, setelah sebelumnya diawali dengan meninggalnya Dua Begawan Revolusi Komunis China lainnya (yang juga merupakan Kawan Seperjuangan Mao selama Revolusi): Zhou En Lai pada 8 January 1976, dan Zhu De pada 6 July 1976, telah membuat 1976 dikenang dalam Sejarah China Modern sebagai “Year of Curse” (Tahun Terkutuk).

Bangsa China meyakini Konsep Yin-Yang yang digali dari Filosofi Taoisme dari Masa China Kuno. Konsep Yin-Yang meyakini bahwa ada unsur positif dan negatif dalam setiap hal, ada hikmah dibalik setiap musibah, dan ada bahaya di setiap bahagia. Apabila Gempa Tangshan ini hendak kita telaah dengan pendekatan Yin-Yang. Maka Bencana Tangshan mempunyai akhir cerita yang tidak terlalu buruk. Meski Kota Tangshan lebur hancur lantak dalam Gempa Tangshan 28 July 1976 karena sebagian besar Bangunan dibangun dengan material yang tidak-tahan-gempa berdiri di atas Tanah Aluvial yang rapuh, namun Pemerintah RRC segera membangun kembali Kota Tangshan secara besar-besaran, melengkapinya dengan infrastruktur modern, dan akhirnya jadilah Kota Tangshan Baru yang Modern dan Indah. Kota Tangshan juga diberi gelar “City of the Brave” (Kota Para Pemberani) oleh Pemerintah RRC untuk mengenang jiwa-raga yang tewas dalam Gempat Tangshan 28 July 1976. City of The Brave was built after The Year of Curse.

Bagi Bangsa China, Bencana adalah Pertanda yang diberikan Alam untuk sebuah Keruntuhan dari Suatu Kemapanan yang sudah Kadaluwarsa untuk Pembentukan Sebuah Awal Baru yang lebih Segar, Dinamis, dan Progresif. Yin dan Yang; Baru dan Lama; Baik dan Buruk, Tesa dan Anti-Tesa yang bersintesa dalam suatu Dialektika yang Dinamis.

Gunung Kelud, Hindia Belanda, 22 – 23 Mei 1901
Gunung Kelud, yang terletak di perbatasan Kabupaten Blitar dan Kediri meletus. Letusan dimulai pada pukul 00:00 – 01:00 WIB, dan mencapai puncaknya pada pukul 03:00. Penduduk setempat sebagai bagian dari yang amat mempercayai mistik; seakan melihat Letusan Gunung Kelud ini sebagai suatu pertanda alam. Memang, Bumi dan Manusia Hindia-Belanda pada saat itu telah melewati banyak penderitaan di bawah Penindasan Sistem Imperialisme-Kolonialisme Kerajaan Belanda sejak 1800.

Perlawanan-demi-perlawanan
, Pemberontakan-demi-pemberontakan, tumbang satu demi satu dalam kegagalan dan tragedi. Perang Diponegoro, sebagai Perlawanan terhebat terhadap Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda telah berakhir 70 tahun sebelumnya pada 1830. Sejak saat itu, satu demi satu wilayah Nusantara dianeksasi oleh Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, agresi hanya bisa dilawan Manusia Nusantara dengan epilog tragedi kekalahan demi kekalahan: Minangkabau – Imam Bonjol (1837), Banjarmasin – Pangeran Antasari (1863), Lombok (1894). Seluruh Nusantara hampir semua berhasil dimasukkan ke dalam kekuasaan Imperialisme Belanda sampai saat itu, kecuali Tapanuli yang baru berhasil ditaklukkan tahun 1907, dan Aceh yang tidak pernah berhasil benar-benar ditaklukkan. Gunung Kelud meletus, pada saat harapan dan asa Manusia Nusantara berada pada titik nadir terendahnya. Letusan Gunung Kelud membuat Manusia-Jawa yang sangat mistis itu berusaha mecari arti dan tafsir dibalik pertanda alam yang kurang ramah tersebut. Tepat Dua Minggu Kemudian, 6 Juni 1901, Kusno dilahirkan dari rahim Idayu Nyoman Rai Serimben. Ayahnya adalah Raden Sukemi Sosrodiharjo. Bayi itu tumbuh dewasa, dan kemudian lebih dikenal dengan nama SOEKARNO yang kemudian menjadi Pemimpin yang berhasil mempersatukan seluruh Bangsanya dalam suatu Revolusi Maha-Dahsyat, yang akhirnya membebaskan Manusia Nusantara dari Penjajahan Belanda yang 44 tahun sebelumnya tampak tidak mungkin dan tidak dapat terkalahkan sama sekali. Letusan Gunung Kelud 22-23 Mei 1901 adalah sebuah pertanda alam untuk lahirnya Sang Pemimpin Pembebas Bangsa Indonesia.

10 January 2010, Tasikmalaya, 07:25 WIB
Gempa Bumi terjadi [lagi] di Tasikmalaya dengan kekuatan 5.4 SR, setelah belum lama sebelumnya, pada 2 September 2009, Tasikmalaya terguncang Gempa Bumi dengan kekuatan 7.3 Skala Richter yang berefek cukup parah. Namun berbeda dengan Gempa Bumi 2 September 2009 yang terjadi 4 bulan sebelumnya, Gempa Bumi Tasikmalaya kali ini, yang terjadi pada 10 January 2010, jauh lebih ringan, baik dalam kerugian material maupun kerugian jiwa. Gempa Tasikmlaya 10 January 2010 ini hanya menelan satu orang korban jiwa, Upun Wihardis (65 tahun), warga Kampung Wates, Desa Sinarbakti, karena serangan jantung. Gempa Tasikmalaya 10 January 2010 yang terjadi pada pukul 07:25 ini seakan memberikan sebuah Pertanda Alam akan kebangkitan kembali Bangsa ini yang sudah lama terbenam dalam krisis-keterpurukan multidimensi, dan juga ketidak-percayaan-diri. Mungkin Alam sudah bosan pada ulah-polah-tingkah Manusia Indonesia yang sudah begitu dekaden, korup, egois. Bangsa Indonesia sudah cukup terpuruk dan menderita. Alam memberi pertanda lewat Gempa Tasikmalaya 10 January 2010 pukul 07:25 WIB pagi, akan suatu peristiwa penting bersejarah yang terjadi di Ibukota negeri, Jakarta, kurang lebih 35 menit sesudahnya, pukul 08:00 WIB.

10 January 2010; Jakarta, Stasiun RRI, 08:00 WIB, Siaran PRO2FM
Insan Muda Indonesia mendapatkan kesempatan untuk mengkomunikasikan Visinya untuk Mimpi Indonesia Jaya, pada pukul 08:00. Acara dipandu oleh Penyiar PRO2FM, Yanti Yusfid. Insan Muda Indonesia diwakili oleh Agus Salim (Wakil Ketua Umum), dan Imanuella Debora (Sekjen). Kedua Insan tersebut begitu berapi-api dalam menyerukan Api Nasionalisme Indonesia selama sejam acara disiarkan. Banyak sekali SMS yang masuk sebagai bentuk dukungan pada Insan Muda Indonesia dan cita-cita sucinya. Sangat mengharukan ketika Lagu Mars Insan Muda Indonesia disiarkan on-air ke seluruh penjuru nusantara melalui corong PRO2FM. Lagu Mars Insan Muda Indonesia adalah sebuah lagu yang didedikasikan oleh Doline Warnerin, seorang putera Tasikmalaya, pencinta Indonesia Sejati, sebagai pengejawantahan simpati dan apresiasi Doline atas cita-cita Insan Muda Indonesia.

10 January 2010, Tasikmalaya berguncang oleh gempa bumi hebat pada pukul 07:25, tanpa korban jiwa sebagai akibat langsung dari bahasa-isyarat-alam itu, karena memang Alam berguncang kali ini bukan untuk memberi azab dan hukuman, akan tetapi untuk berseru dengan penuh suka cita, akan lahirnya sebuah harapan baru bagi Indonesia. Tasikmalaya berguncang karena bangga akan karya seorang putranya, Doline Warnerin: Lagu “Insan Muda Indonesia” yang akan menjadi lagu perjuangan, lagu pemersatu bagi seluruh Manusia yang berdiam dari Sabang sampai Merauke, yang sudah bosan pada keterpurukan, yang sudah muak pada rasa inferior akan sebuah nama Indonesia.

Terimakasih Alam, Terimakasih Tasikmalaya, Terimakasih Doline Warnerin
Terimakasih Indonesia.

Insan Muda Indonesia Sudah Siap untuk Mengemban Amanat Sejarahnya: Mendengungkan Teriakan Persatuan, dan Berbagi Suatu Mimpi Indah untuk Indonesia Jaya, Indonesia sebagai Mercusuar Dunia!

Tangshan, China, 1976. Tangshan diberi nama City of The Brave oleh Pemerintah Republik Rakyat China sebagai penghargaan atas para korban Gempa Tangshan. They have died, as ‘The Braves’ never be able to witness the mighty of China today.

Indonesia, Mulai 10 January 2010 sampai Akhir Zaman
Setelah Gempa Tasikmalaya, pukul 07:25 yang menyambut cita-cita Indonesia Jaya yang disabdakan Insan Muda Indonesia melalui RRI PRO2FM 35 menit kemudian pada pukul 08:00 WIB, maka untuk seterusnya sampai akhir zaman, Indonesia akan selalu menjadi The Nation of The Braves. Indonesia adalah Bangsa Para Pemberani.

Terimakasih bagi para pendengar yang sempat mendengarkan siaran live on-air Insan Muda Indonesia. Terimakasih pada Mbak Yanti Yusfid yang telah memandu acara yang begitu emosional dan menggelora oleh seruan-seruan Agus Salim dan Imanuella Debora dari Insan Muda Indonesia. Terlebih kepada para pendengar yang sempat mengirimkan SMS berisi pertanyaan maupun pernyataan, saran maupun kritik, Terima Kasih Banyak!

Kepada Keluarga Bapak Upun Wihardis (65 tahun) yang telah meninggal akibat serangan jantung pada Gempa Tasikmalaya, Insan Muda Indonesia mengucapkan Bela-Sungkawa yang sedalam-dalamnya. Insan Muda Indonesia berdoa bagi arwah Pak Upun Wihardis, agar semua amal-ibadahnya diterima di sisi Tuhan YME.

Kepada Seluruh Bangsa Indonesia: Marilah mulai hari ini, kita menjadi seorang pemberani. Berani meleburkan ego-ego dan identitas-identitas sempit kita, entah itu suku, agama, ras, mapun golongan, untuk bersatu di bawah Sang Saka Merah Putih. Berani Mencintai Ibu Pertiwi Indonesia, dan Berani Berbagi Mimpi: INDONSIAN DREAM: Sebuah Indonesia yang Jaya, Makmur, dan Adil seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 yang telah merupakan surat wasiat Para Pendiri Bangsa Ini.

“Kalau mati dengan berani. Kalau hidup dengan berani. Kalau keberanian tidak ada—itulah sebabnya semua bangsa asing bisa jajah kita.”
(dari Novel :”Larasati”, karya Pramoedya Ananta Toer)


- Agus Salim -

Hang Nadim dan Tuah Sumpah Hang Tuah

Hang Nadim dan Tuah Sumpah Hang Tuah

Jakarta, 1 Febuary 2010

Minggu lalu, saya berkunjung lagi ke Jambi untuk kesekian kalinya. Memang saya selalu berkunjung ke Jambi dalam frekuensi waktu tertentu untuk menengok Ayah saya yang berdomisili di Jambi sejak tahun 1999.

Berbeda dengan kunjungan-kunjungan sebelumnya ke Jambi, kali ini saya sempat bertamasya ke Pulau Batam dan Singapura selama beberapa hari bersama ayah.

Adalah hal yang menyenangkan lagi melegakan hati dapat meluangkan waktu bertamasya bersama ayah tercinta, dimana waktu untuk bersua dengan ayah pun sudah sedemikian langkanya, dimana ruang, waktu, kewajiban pekerjaan, kesibukan pribadi dan lain-lain hal menjadi dimensi yang memisahkan saya dan ayah. Hanya Cinta yang tulus masih dapat menyatukan kami.

Saat menjejak kaki di Bandara Udara Batam, barulah saya mengetahui nama Bandar Udara dari Pulau Batam: Bandar Udara Hang Nadim, yang tercetak gagah menantang langit, menghiasi cakrawala angkasa raya di sekitar airport. Bandar Udara adalah bagai serambi sebuah negeri, dan gerbang bagi para pelancong. Tak heran, semua negara berlomba mempercantik Bandar Udara sebagai Gerbang Negeri-nya.

Berbeda dengan negara-negara tetangga lainnya di kawasan ASEAN; Indonesia selalu memberikan nama bagi hampir semua Bandar-Bandar Udara yang tersebar di seantero Nusantara dengan Nama Pahlawan Revolusi, Pejuang Kemerdekaan, ataupun Pahlawan-Pahlawan dari Zaman Sejarah Indonesia Feodal Kuno.

Hal ini amat jelas dengan penamaan Bandar Udara Utama Indonesia di Ibukota Jakarta, serambi negeri dan pintu gerbang pelancong ke Indonesia: Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, yang mengabadikan nama dwitunggal proklamator Bapak-Bangsa, Soekarno-Hatta, sebagai perbandingan dengan Changi International Airport (Singapore), Kuala Lumpur International Airport (Malaysia), dsb.

Begitu pula dengan Bandar Udara di setiap ibukota propinsi maupun kota-kota lainnya dari Sabang-Sampai-Merauke, hampir semuanya dinamai dengan nama tokoh pahlawan dan pejuang Indonesia, baik dari era kontemporer maupun kuno, seperti: Juanda (Surabaya), Ngurah Rai (Bali), Halim Perdanakusuma (Jakarta, sebelum Soekarno-Hatta), Fatmawati Soekarno (Bengkulu), Sam Ratulangi (Menado), Adi Sucipto (Yogyakarta), Adisumarmo (Solo), Achmad Yani (Semarang), Husein Sastranegara (Bandung), Sultan Hasanuddin (Makassar), Sultan Mahmud Badaruddin II (Palembang), Sultan Thaha (Jambi), Sultan Iskandar Muda (Aceh), Pattimura (Ambon), Raden Inten II (Bandar Lampung), dan yang baru saya singgahi: Bandar Udara Hang Nadim, Batam. Namun siapakah Hang Nadim ini?

Saya dan sebagian besar dari anda semua sudah tentu lebih sering mendengar nama Hang Tuah ketimbang Hang Nadim. Hang Tuah adalah Laksamana gagah perkasa, sakti mandraguna lagi cerdik cendekia nan bijaksana dari Kesultanan Melaka yang bersama dengan ke-empat sahabatnya: Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu, mengabdi di bawah pemerintahan Sultan Mansur Shah (1459-1477) pada masa pemerintahan Dinasti Kesultanan Melaka (1402-1511).

Lima Sekawan Hang bahu membahu dengan Bendahara (Perdana Menteri) Tun Perak dengan segenap kemampuan dan pengabdian berhasil membawa Kesultanan Melaka ke Puncak Kejayaannya, sehingga di masa Pemerintahan Mansur Shah kekuasaan Kesultanan Melaka berhasil berekspansi ke Selangor, Bernam, Siak, Munjuru, Rupat, Singapura, Bintan, dan Pahang. Kombinasi antara ekspedisi militer dan strategi perkawinan politik berhasil membuat Kerajaan tetangga tunduk di bawah pengaruh kekuasan Sultan Mansur Shah.

Kesuksesan Hang Tuah, ditambah dengan kemahirannya dalam bersilat dan juga mitos seputar kesaktiannya membuatnya laksana tokoh separuh-dewa, dan dikenang generasi kemudian sampai hari ini baik di Indonesia maupun Malaysia.

Makamnya di Tanjung Keling, Malaka dipugar megah oleh pemerintah Kerajaan Malaysia masih dapat diziarahi saat ini, menjadi Simbol Kedigdayaan dan Kebanggaan Bangsa Melayu di masa silam bagi Rakyat Malaysia. Di Indonesia, nama Hang Tuah dan ke-4 sahabatnya diabadikan sebagai nama Jalan-Jalan di bilangan Menteng, Jakarta, dan juga di kota2 lain di seluruh Indonesia.

Nama Hang Tuah juga diabadikan menjadi nama salah satu nama Kapal Perang TNI AU: KRI Hang Tuah. KRI Hang Tuah adalah sebuah Korvet milik Angkatan Laut Kerajaan Belanda yang diserahkan kepada Indonesia sebagai realisasi dari Konferensi Meja Bundar 1949 yang mengakui eksistensi Bangsa Indonesia yang baru lahir dari rahim sejarah secara berdarah-darah melalui Revolusi Perang Kemerdekaan 1945-1949.

Tuah KRI yang dinamai Hang Tuah seakan ikut menumpas pemberontakan RMS tahun 1950. Namun Tuah 'Hang Tuah' harus tamat pada 28 April 1958, dimana KRI Hang Tuah tenggelam di Perairan Balikpapan, Kalimantan Timur, setelah ditembak jatuh 2 pesawat pembom Douglas B-26 Invader yang dikemudikan Allen Lawrence Pope, seorang pilot bayaran asal Amerika Serikat, yang berperang di pihak Permesta. Inilah sekeping puzzle dari sebuah Mosaik Besar sebuah Lukisan yang bercerita tentang interfensi dan pelecehan Amerika Serikat di sebuah negeri yang bernama Indonesia. Sebuah kisah tentang cita-cita kemerdekaan untuk berdaulat sepenuhnya dan mandiri, yang harus berakhir setelah G-30-S pada tahun 1965, dan Orde Baru menghujamkan paku terakhir pada peti mati kedaulatan dan kemerdekaan sejati Indonesia.

Sejak saat itu, sampai hari ini, bisa dibilang Indonesia adalah Negeri Merdeka yang setengah jajahan. Terjajah kedaulatannya, ekonomi, dan juga budayanya. Kita sedang mengalami krisis identitas maha parah.

Sepeninggal Mansur Shah, Kesultanan Melaka diperintah oleh para pengganti yang kualitas kepemimpinannya tidak sebaik beliau. Hang Tuah pun akhirnya wafat, namun beruntungnya Kesultanan Malaka masih mempunyai seorang Laksamana cakap, cendekia nan tangguh yang menjadi pengawal dinasti. Ia adalah Hang Nadim.

11 September 1509
Armada Portugis berjumlah 4 Kapal dibawah pimpinan Admiral Diego Lopez De Sequiera mendarat di Malaka. Diego diperintahkan Raja Manuel I untuk menjalin hubungan dagang dengan Kesultanan Malaka.

Atmosfir Politik Dunia saat itu dalam situasi panas karena konflik Perang Salib di Eropa dan Timur Tengah. Seluruh dunia Kristiani dan Muslim mau tak mau turut larut dalam Konfrontasi Perang Salib, lebur dalam atmosfir konflik maha panas nan kejam seperti era Perang Dingin antara USA dan Soviet pada akhir abad 20.

Raja Manuel I (Portugal) saat itu secara Geopolitik termasuk dalam Kubu Kristiani, mempunyai Visi Besar dalam rangkaian Strategi dan Kamapanye Politik-Militer yang dinamakan Reconquista (Penaklukkan Kembali) untuk membalas kekalahan Kristen dibawah Islam pada Perang-Perang Salib sebelumnya. Visi Manuel I adalah untuk memblokade Ekonomi Dunia Muslim dengan menguasai arus Perdagangan Dunia yang berpusat pada 3 Pelabuhan Utama Dunia: Aden, Ormuz, dan Malaka. Malaka adalah salah satu target untuk dikuasai dalam Visi Besar Agresi Rakus Manuel I.

Niat Bukus nan Rakus Imperial Portugal untuk menghujamkan Kolonialisme di tanah Malaka tercium oleh Mansur Shah, dan para menterinya merumuskan solusi pembunuhan pada Diego. Beberapa awak kapal Portugal tertangkap dan dibunuh, namun Diego berhasil lolos dengan armadanya kembali ke Portugal.

Manuel I murka dan mengirimkan Alfonso D' Albuquerque (1453-1515) dengan armada berkekuatan 17-18 kapal dan prajurit berjumlah sekitar 1200 orang untuk melaksanakan eksepedisi penghukuman atas Malaka.

Serangan pertama pada Juli 1511 gagal menaklukkan pertahanan kuat Malaka, namum Serangan Kedua pada Agustus 1511 berhasil merebut Malaka, ibukota Kesultanan Malaka. Ibukota Direbut, Sultan Mahmud Shah terpaksa melarikan diri dari Ibukotanya untuk melakukan perlawanan. Portugis segera membangun benteng kokoh A Famosa, bersiap menghadapi serangan balik Malaka, sekaligus aktif memburu Mahmud Shah dalam pelarian, untuk membasmi perlawanan Malaka sampai tuntas tak bersisa. Dinasti Malaka di ujung tanduk, seakan tinggal menghitung hari menunggu hari akhirnya, Sirna Ilang Kertabumi.

Sejarah adalah panggung bagi para Aktor Sejarah, dan Aktor Sejarah adalah pengemban misi suci untuk menciptakan takdir sejarah, memahat prasasti histori indah nan megah untuk kenangan generasi berikutnya. Aktor pelaku sejarah jualah penenetu arah Sejarah dengan segenap Kemauan Keras dan Kemampuan Lawas-nya mengubah Arah Takdir Sejarah, dan mengemban peran Mesias, yang menyelamatkan sebuah Bangsa.

Bagi Dinasti Malaka dan Mahmud Shah saat itu, pada hari-hari terpanjang nan sulit bagi kelangsungan eksistensi sebuah pemerintahan, Mesias dan Aktor Sejarah itu adalah Hang Nadim.

Hang Nadim dilantik menjadi Laksamana Kesultanan Melayu menggantikan Laksamana Khoja Hasan yang wafat. Epos Laksamana Dinasti Melayu terbesar setelah Hang Tuah dimulailah. Bila Hang Tuah mendampingi Mansur Shah membawa biduk Dinasti Malaka menuju Puncak Kejayaannya, bagai peran Gajah Mada mendampingi Hayam Wuruk dalam Alegori Histori Majapahit, maka amanat sejarah yang diemban Hang Nadim jauh lebih berat: Mengawal Dinasti Malaka melewati masa-sulitnya dan menyelamatkannya dari Kepunahan. Pendahulu Hang Nadim, Sang Laksamana Hang Tuah, pernah mengucap sumpahnya: 'Takkan Melayu Musnah dari Dunia'. Seperti Gajah Mada dengan Sumpah Palapa-nya untuk mempersatukan Nusantara dibawah Panji Majapahit, yang telah ditunaikan selama hidupnya, maka adalah Tugas Sejarah Hang Nadim untuk menunaikan Sumpah Hang Tuah atas kesinambungan Eksistensi Melayu dibawah Dinasti Malaka.

Hang Nadim menunaikan Amanat Sejarah itu dengan Sangat Baik. Dua kali Nadim memimpin Armada Malaka menyerang Benteng A Famosa di Malaka, pada tahun 1519 dan 1524 untuk merebut kembali Malaka dan mendudukkan kembali Tahta Mahmud Shah ke Ibukota Malaka. Pada penyerangan tahun 1524, Hang Nadim hampir berhasil merebut kembali Malaka. Benteng A Famosa dikepung rapat oleh Laskar Malaka, Portugis frustasi dan hampir menyerah. Namun Kekuatan Bala Bantuan Portugis dari Goa datang tepat pada saat-saat kritis, dan terjadi pertempuran sengit yang berhasil mematahkan kepungan Laskar Malaka yang harus mundur kembali ke Bintan, Ibukota Pemerintahan Mansur Shah dalam pelarian.

Kepemimpinan Hang Nadim juga berkali-kali berhasil mematahkan Invasi militer Portugis yang bernafsu rakus melenyapkan Melayu dibawah Kesultanan Malaka selama-lamanya dari Muka Bumi. Hang Nadim berhasil menunaikan Sumpah Hang Tuah untuk mempertahankan eksistensi Melayu dibawah Dinasti Malaka di hari-hari terbiadab seakan tanpa harap. Portugis akhirnya terpaksa menerima posisi stalemate dengan Malaka.

Kelelahan dan frustasi karena kegagalan merebut kembali Malaka pada ekspedisi militer tahun 1524, tak lama setelah itu, Hang Nadim wafat di Pulau Bintan. Makamnya di Desa Busung, Kecamatan Bintan Utara, Pulau Bintan, yang saat ini secara administratif masuk ke dalam Propinsi Kepulauan Riau, masih berdiri tegak nan gagah, seakan dalam Pusaranya Hang Nadim masih berani berbisik: 'Takkan Melayu Hilang Di Dunia'.

Sepeninggal Hang Nadim, Mahmud Shah melupakan mimpinya untuk merebut kembali Ibukota Malaka, dan meninggalkan Pulau Bintan, yang selama ini merupakan basis perlawanan terhadap Portugis dalam merebut kembali Malaka, pada tahun 1526. Mahmud hijrah ke Kampar, Riau, dan dinobatkan menjadi Sultan disana.

Mahmud memerintah di Kampar hanya 2 tahun, sampai wafatnya pada tahun 1528 dan dimakamkan disana. Makamnya masih ada dan dirawat penduduk setempat sampai sekarang. Oleh penduduk setempat Ia dikenal juga dengan nama 'Marhum Kampar'.

Sepeninggal Mahmud Shah, kedua putranya meninggalkan Kampar. Salah satunya mendirikan Kesultanan Johor, dan lainnya Kesultanan Perak, yang masih ada sampai saat ini di Malaysia. Walaupun tidak mempunyai kekuasaan politik lagi, namun segenap adat, budaya, dan pranata Kedua Kesultanan tersebut masih lestari dan dilindungi Pemerintah Malaysia. Warisan Kesultanan Malaka tetap tegak berdiri di era globalisasi ini.

Hang Nadim menunaikan amanat sejarah yang dibebankan kepadanya dengan paripurna selama periode tersulit kekuasaan Mansur Shah pasca direbutnya Ibukota Malaka (1511) selama 15 tahun perang dengan Portugis (1511-1526) dalam mempertahankan kelangsungan hidup pemerintahan Mansur Shah. Meskipun Ia tidak berhasil merebut kembali Malaka dan mengusir Portugis, perannya amat signifikan dalam mempertahankan kesinambungan kekuasaan Raja-nya dan keturunannya. Ia telah menjaga Tuah Sumpah Hang Tuah akan keabadian eksistensi Melayu: 'Takkan Melayu Hilang di Dunia'.

Insan Bangsa yang Mempunyai Sifat-Sifat Kepahlawanan: Berkemampuan Lawas juga Berkemauan Keras dengan dilandasi Rasa Cinta Tanah Air yang Patriotik, dan Pengabdian yang Tulus, telah menjadi Juruselamat dari Dinasti Malaka.

Indonesia, sebagai negeri pusaka dengan bhineka suku, ras, kultur, dan agama, meski mempunyai kondisi objektif sosial-budaya yang berbeda dengan Dinasti Malaka yang berpenduduk ras-tunggal (Melayu). Namun Indonesia juga mengalami pengalaman sejarah yang koheren dengan Sejarah Perang Malaka - Portugis 1511-1526 dalam Revolusi Perang Kemerdekaan 1945-49, dimana segenap Bangsa ini: Tua, Muda, Pria, Wanita, dari semua Agama, Suku, Ras, dan lintas lapisan ekonomi dan sosial, begitu tersihir akan satu mantra sakti yang bernama: Kemerdekaan, telah rela mengorbankan segalanya: Harta, Keluarga, dan Juga Nyawa, demi sebuah Kemerdekaan. Mereka semua telah hidup menjalani sifat pahlawan, dan mati sebagai pahlawan, dikenang ataupun tidak dikenang, dicatat maupun tidak dicatat.

Marilah Kita Menjadi Pahlawan Saat Ini Juga, Demi Indonesia yang Lebih Baik Lagi!

Takkan Indonesia Hilang dari Dunia!

Liputan Natal bersama Anak-Anak Panti Asuhan PNIEL 30 Des 2009

Liputan Natal bersama Anak-Anak Panti Asuhan PNIEL 30 Des 2009

Jakarta, 4 January 2009

Di penghujung tahun 2009, tepatnya pada tanggal 30 Desember 2009, Insan Muda Indonesia mengunjungi Panti Asuhan PNIEL di daerah Bintaro untuk berbagi Keceriaan dan Damai Sejahtera Natal bersama anak-anak Panti Asuhan PNIEL.

Apabila pada tanggal 13 September 2009 yang lalu, Insan Muda Indonesia mengunjungi Panti Asuhan RSPA Bambu Apus untuk mengadakan silaturahmi dan buka puasa bersama dengan anak-anak penghuni panti asuhan yang diisi acara seminar tentang Keindahan Alam, dan Sejarah Indonesia, dan menyanyikan lagu-lagu nasional bersama-sama, maka kali ini, Insan Muda Indonesia mengunjungi anak-anak Panti Asuhan yang beragama kristiani. Hal ini adalah pengejawantahan dari Idealisme Insan Muda Indonesia akan Indonesia yang Bersatu dalam Pluralisme, Bhinneka Tunggal Ika.

Dibuka dengan paduan suara lagu rohani kristiani dari anak-anak Panti Asuhan PNIEL, Acara dilanjutkan dengan kata pembuka oleh Ketua Umum Insan Muda Indonesia, Bung Erlangga Patria Sjamsuddin Mangan, setelah sebelumnya Lagu Indonesia Raya dan Mars Insan Muda Indonesia dinyanyikan bersama.

Presentasi mengenai Pulau Komodo sebagai salah satu Keajaiban Dunia dari Indonesia, dan juga Selayang Pandang Sejarah Indonesia dibawakan oleh Bung Agus Salim, dan Imanuella Priskila Debora; yang juga merupakan anggota dari Dewan Eksekutif Insan Muda Indonesia. Rachel Rebecca Rose Kaligis memimpin Doa bersama secara Kristiani yang diikuti seluruh anak-anak dan para manula penghuni PNIEL. Duet suara Rachel dan salah seorang putra PNIEL menyanyikan sebuah Lagu Rohani Kristiani yang cukup populer. Sara Puspita Dewi mendokumentasikan moment demi moment selama acara melalui jepretan kameranya yang apik. Bapak Randy Moein dan Bung Eduard Dona Ricky juga turut hadir dan membantu proses berjalannnya acara.

Insan Muda Indonesia akan lebih sering lagi mengunjungi anak-anak Panti Asuhan di seantero Nusantara, saudara-saudari Sebangsa kita yang kurang beruntung, namun di tangan tunas bangsa muda seperti merekalah Indonesia akan menapak masa depannya. Dukung terus Insan Muda Indonesia. Bagi saudara-saudari setanah air sekalian yang bersimpati pada Perjuangan Insan Muda Indonesia untuk mewujudkan Mimpi Indonesia, dapat mentransfer ke:

BANK JABAR BANTEN
a/n Yayasan Citra Insan Teladan Indonesia
No Rekening: 0008933863001
(Dapat ditransfer dari Bank manapun termasuk BCA dan Bank Mandiri, tanpa biaya apapun)

Ayo, bersama kita melalukan sesuatu hal yang kecil untuk Indonesia sekarang juga!


Jayalah Indonesia!

Agus Salim

DUKUNG IMI PEDULI SUMBAR: SEMUA BERSATU UNTUK SEMUA!

DUKUNG IMI PEDULI SUMBAR: SEMUA BERSATU UNTUK SEMUA!

Jakarta, 17 Desember 2009

Karl Marx (1818-1993), salah seorang Filsuf Jerman yang dianggap paling gemilang pada zamannya, pernah menulis: “History Repeats Itself, First as Tragedy, Second as Farce”. Sejarah Selalu Berulang, Pertama sebagai Tragedi, dan Kedua kalinya sebagai Lelucon. Ungkapan ini seakan begitu paralel dengan kedua-tanggal yang identik dengan tragedi dan kesan tertumpahnya darah Anak Bangsa dalam sejarah Bangsa Indonesia: Tanggal 30 September dan 1 Oktober. Sejarah Berulang di kedua tanggal tersebut.

Tahun 1965, 30 September – 1 Oktober
Persuaan Bangsa Indonesia dengan Tanggal 30 September dan 1 Oktober pertama kalinya adalah pada tahun 1965. Sekelompok perwira yang sebagian besar tergabung dalam Kesatuan Pasukan Cakrabirawa dibawah pimpinan Letkol Untung Samsuri dan Kolonel Abdul Latief yang bermarkas di Bandara Udara Halim Perdanakusumah mengadakan aksi penculikan yang ditargetkan pada 7 Jenderal pucuk pimpinan Angkatan Darat saat itu. Ketujuh Jenderal tersebut dicurigai membentuk Dewan Jenderal yang berniat melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah di bawah Presiden Soekarno saat itu. Rencana Letkol Untung dan Kol Latief yang menamakan dirinya Gerakan 30 September itu akhirnya berkembang menjadi sebuah rangkaian peristiwa aneh nan misterius yang bahkan belum terungkap jelas sampai hari ini. 30 September – 1 Oktober 1965 adalah kedua tanggal yang akhirnya menentukan arah sejarah Bangsa Indonesia 30 tahun ke depan.

Walau dalang dibalik Gerakan 30 September itu belum jelas sampai saat ini, hasil akhir dari peristiwa itu sama-sama kita ketahui: 6 Jenderal Puncak Angkatan Darat dan Seorang Kapten Angkatan Darat dibunuh dan dimasukkan ke dalam Sebuah Sumur Sempit di Lubang Buaya, PKI dipaksa menjadi Antagonis Sejarah dengan Posisi Tertuduh sebagai Dalang peristiwa yang awalnya terkesan sebagai konflik intern dalam tubuh Angkatan Darat tetapi kemudian dideviasikan oleh pihak yang berkepentingan sebagai sebuah upaya Perebutan Kekuasaan (coup de’tat) terhadap Pemerintahan yang Sah di bawah Presiden Soekarno, sang Pemimpin Besar Revolusi. Soekarno sendiri akhirnya terjungkal dari posisi pucuk kepemimpinan bangsa.

Seluruh Lapis Strata Sosial terpengaruh oleh Tragedi ini: Menteri, Anggota Parlemen, Anggota TNI, Aktivis Pemuda, Cendekiawaan, Budayawan, Sastrawan, bahkan sampai Wanita Pekerja Seks Komersial, asalkan mereka dianggap sebagai pihak-pihak Pro Soekarno atau PKI, ditangkap, dibunuh, ditahan tanpa proses pengadilan yang jelas, dan diberi cap PKI yang terus melekat sampai ke keturunan berikut bagaikan kutuk yang lebih terkutuk dari Kutukan Empu Gandring. Tak terbilang Anak Bangsa yang tidak tahu-menahu dan tidak ada sangkut pautnya dengan Malam Jahanam 30 September – 1 Oktober 1965, telah terkorban: kehilangan hidup, atau penghidupannya sebagai manusia.

Diperkirakan korban nyawa sebanyak 500,000 – 3,000,000 manusia Indonesia telah menjadi tumbal dari perang semua melawan semua (istilah Thomas Hobbes dalam bukunya Leviathan) yang terjadi dan seakan dibiarkan terjadi, untuk tegaknya sebuah kekuasaan yang menamakan dirinya Orde Baru untuk 33 tahun ke depan. 30 September dan 1 September 1965: Prolog dari sebuah episode Drama dengan Judul: Darah Tumpah untuk Pertumpahan Darah yang Lebih Besar Lagi – dalam lembar hitam nan kelam Sejarah Bangsa Indonesia! Ibu Pertiwi Indonesia hanya bisa menangis tersedu-sedu dalam raungan pilu di pojok sejarah, sementara anak-anaknya terlibat dalam ‘perang semua-melawan-semua’ yang kejam dan tanpa belas ampun.

Tahun 2009, 30 September – 1 Oktober
Sejarah Berulang bukan sebagai Lelucon, seperti pernah disabdakan Karl Marx, akan tetapi sebagai Tragedi yang jauh lebih tragis, kejam, dan pilu.

Gempa Bumi terjadi dengan kekuatan 7,6 Skala Richter di lepas pantai Sumatera Barat pada pukul 17:16:10 WIB tanggal 30 September 2009. Gempa ini terjadi di lepas pantai Sumatera, sekitar 50 km barat laut Kota Padang. Gempa menyebabkan kerusakan parah di beberapa wilayah di Sumatera Barat seperti Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang, Kabupaten Pesisir Selatan, Kota Pariaman, Kota Bukittinggi, Kota Padangpanjang, Kabupaten Agam, Kota Solok, dan Kabupaten Pasaman Barat. Pada hari Kamis 1 Oktober terjadi lagi gempa kedua dengan kekuatan 6,8 Skala Richter, kali ini berpusat di 46 km tenggara Kota Sungaipenuh pada pukul 08.52 WIB dengan kedalaman 24 km. (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Gempa_bumi_Sumatera_Barat_2009)

Total kerugian materiil akibat gempa 7,9 skala Richter, diikuti tanah longsor di Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), 30 September 2009 ditaksir mencapai Rp21,58 triliun. Kerugian terbesar akibat kerusakan perumahan, 74 persen. Korban tewas sampai 1.195 orang. (Sumber: http://www.beritabaru.com – Gempa Sumbar, Total kerugian Rp 21 Trilyun; Minggu, 15 November 2009, Nazir Amin)

Indonesia kembali Menangis, tenggelam dalam lautan air mata, darah, dan timbunan mayat yang sudah tidak bernyawa lagi. Daging, Tulang, Darah, dan Air Mata bercampur dengan reruntuhan bangunan, terlukis di bumi Sumatera Barat, dengan Alunan Raung Tangis, Keluh Sedih, Kesah Pilu, dan Sengah Perih menjadi latar belakang musik tragis yang mewarnai mosaik episode Gempa Sumatra Barat. Kekasih Terpisah, Keluarga Tercerai, Kerabat Terberai.

Apabila eposide Pasca 30 September – 1 Oktober 1965 adalah sebuah lakon “Semua Melawan Semua” ala “Leviathan”-nya Thomas Hobbes atau Perang Paregrek (1404) yang merupakan Perang antara sesama Majapahit antara Bhre Wirabhumi dan Wikramawardhana, yang akhirnya mendesak Dinasti Majapahit yang sebelumnya begitu kokoh perkasa di orbit tahta kejayaannya menuju ke ufuk kemundurannya untuk kemudian terbenam selamanya dalam debu tanah sang kala sebagai Fosil Sejarah. Hal ini berbeda dengan Gempa Sumatra 30 September – 1 Oktober 1965, yang merupakan lebih mirip alur cerita dalam film bergenre Disaster Movie produksi Hollywood seperti “2012”, “Twister”, “The Day after Tommorrow”, “Volcano”, “Dante’s Peak” dsb. Ini adalah sebuah Moment-Of-Truths, dimana segenap anak manusia bersatu-padu untuk bersama-sama menyelamatkan diri dari kejamnya bencana alam, dan membangun kembali kehidupan pasca bencana. “Semua Ber-SATU untuk Semua”.

Insan Muda Indonesia, sedih dan prihatin pada penderitaan saudara-saudari Sebangsa dan Setanah-Air kita di Sumatera Barat, melalui kegiatan “IMI Peduli Sumbar” akan menurunkan langsung 6 relawan IMI dari Jakarta pada tanggal 26 – 29 Desember 2009 ke Desa Padang Alai, Siungai Gringging, dan Kuraitaji. Ketiga Desa tersebut telah hilang selamanya dalam Peta Sumatera Barat terbenam dalam timbunan tanah akibat longsor pasca Gempa Sumbar 30 September – 1 Oktober 2009, namun masih ada penduduk yang selamat dan tetap melanjutkan hidup sampai hari ini. Insan Muda Indonesia akan turun langsung ke ketiga desa tersebut untuk membangun 3 Buah Musholla, 2 Buah MCK (Mandi Cuci Kakus), dan 1 Tempat Tinggal Sementara (Shelter), dan melakukan ‘Trauma-Healing” pada penduduk ketiga desa tersebut untuk tetap bersemangat GARUDA, dan kembali bersama-sama dengan Seluruh Bangsa Indonesia membangun kembali Desa mereka. IMI telah memiliki Posko di Jl. Sudirman no 86A, Padang Pariaman, Sumbar dan saat ini, seorang relawan IMI (Bapak Farchat) telah berada di sana untuk kemudian bergabung dengan keenam relawan lainnya yang akan menyusul kesana pada tanggal 26 Desember 2009.

Bagi Saudara-Saudara Sebangsa dan Setanah Air yang bersimpati pada penderitaan Saudara-Saudara kita di Sumbar, dan tergerak untuk menyalurkan dukungan dalam bentuk uluran dana untuk kegiatan “IMI Peduli Sumbar Desember 2009”, dapat mentransfer ke rekening:

BANK JABAR BANTEN
a/n Yayasan Citra Insan Teladan
No Rekening: 0008933863001
(Dapat ditransfer dari Bank manapun termasuk BCA dan Bank Mandiri, tanpa biaya apapun)

Indonesia masa kini banyak berhutang pada Sumatera Barat yang telah melahirkan putra-putra terbaiknya, seperti: Drs. Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Abdul Muis, KH Agus Salim, Muhammad Yamin, HR Rasuna Said, Mohammad Natsir, AK Gani, Mr. Assaat, Buya Hamka, Marah Rusli, Nur Sutan Iskandar, Nazir Datuk Pamuncak, Taufiq Ismail, PK Ojong, dan masih banyak lagi. Mereka adalah: Negarawan, Pejuang Kemerdekaan, Ideolog, Politisi, Ulama, Sastrawan, Jurnalis, yang telah mempersembahkan cipta, rasa, karya, dan karsa dalam seluruh hidupnya bagi Indonesia. Nama-nama mereka akan selalu mengharumkan Sumatera Barat dalam INDONESIAN HISTORY HALL OF FAME.

Mari bersama-sama kita bangun kembali Sumatera Barat yang telah banyak memberikan kontribusi bagi Kemerdekaan Indonesia dan juga Peradaban Indonesia Modern.

SEMUA ber-SATU untuk SEMUA! Bangkitlah Sumatera Barat!

Sejarah Berulang, Pertama sebagai Tragedi, Berikutnya sebagai Moment Sejarah untuk BERSATU demi INDONESIA YANG LEBIH BAIK LAGI!
(Insan Muda Indonesia, 17 Desember 2009)

25 Desember, Juruselamat Vs Iblis, Angka 33, dan Ke-INDONESIA-an

25 Desember, Juruselamat Vs Iblis, Angka 33, dan Ke-INDONESIA-an

Jakarta, 30 Desember 2009

Di seluruh dunia, secara global tanggal 25 Desember diperingati sebagai Hari Natal (Christmas Day). Hari Natal yang diperingati setiap tanggal 25 Desember setiap tahun, adalah Hari yang memperingati Kelahiran Yesus Kristus (Isa Al-Masih) yang diyakini oleh Umat Nasrani, baik Protestan maupun Katholik, sebagai Tuhan yang telah lahir ke dunia menjadi manusia untuk menjadi Juruselamat bagi segenap umat manusia yang telah jatuh ke dalam jurang terdalam dosa warisan Adam dan Hawa.

Umat Kristen di Indonesia sebagai bagian dari Umat Kristen Dunia, juga selalu merayakan Hari Natal setiap tanggal 25 Desember setiap tahunnya dengan penuh sukacita, gegap-gempita, dan kemeriahan, meskipun mayoritas penduduk Indonesia secara statistik beragama Islam. Itulah Indonesia, sebuah keajaiban dunia, dimana sebagai Negara Islam terbesar di Dunia, Islam diamalkan dengan begitu toleran, terbuka, dan egaliter, dimana pemeluk agama lain juga boleh memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing seperti dijamin dalam Pasal 27 UUD 1945. Para Bapak Bangsa Pendiri Negeri tercinta ini (Founding Fathers) telah mewariskan suatu sistem ketatanegaraan “Bhinneka Tunggal Ika” yang beradab, adihulung, dan tiada-dua tandingannya dalam hal nilai-nilai demokrasi, toleransi, dan pluralisme sebagai teladan bagi bangsa-bangsa lain di dunia ini. Inilah Takdir Sejarah Bangsa Garuda: Bahwa Indonesia memang sudah ditetapkan dalam suratan-takdirnya untuk menjadi Bangsa yang Besar, Jaya, sebagai Mercu-Suar Dunia. Indonesia BISA, PASTI BISA, dan HARUS BISA!

Tanggal 25 Desember sebenarnya bukanlah Hari Kelahiran Yesus berdasarkan fakta historis. Herbert W Armstrong (1892 - 1986) dalam bukunya The Plain Truth About Christmas, menyatakan bahwa tradisi perayaan 25 Desember sebagai Hari Kelahiran Yesus [baru] mulai dilakukan oleh Gereja Katolik Roma pada abad ke-4 Masehi. Tanggal 25 Desember sebenarnya adalah Hari Kelahiran Dewa Matahari dalam Sistem Kepercayaan Pagan Romawi yang kemudian dijadikan Hari Peringatan Kelahiran Yesus mulai abad ke-4 M, setelah Agama Kristen ditetapkan menjadi Agama Negara oleh Kekaisaran Romawi di tahun 313 M pada masa pemerintahan Kaisar Constantine I (ca. 272 – 337). Ajaran Yesus Kristus berakar pada Tradisi Yahudi. Tradisi Yahudi hanya mengenal perayaan Hari Kematian dari tokoh-tokoh ternama, dan Hari Kelahiran tidak dirayakan sama sekali. Perayaan Hari Kelahiran adalah Tradisi dalam Kepercayaan Pagan Romawi, dimana Hari Kelahiran setiap Dewa-Dewi Mitologis dan juga Kaisar demi Kaisar dirayakan secara besar-besaran.

Setelah kematian Yesus di atas kayu salib, para penganut ajaran Yesus harus terus bersembunyi karena dikejar-kejar, ditangkapi, dibunuh, dan dijadikan mangsa bagi binatang buas di arena Gladiator oleh Rezim Kerajaan Romawi, sampai akhirnya Kaisar Constantine I menganut Agama Kristen dan menetapkannya menjadi Agama Negara melalui Edict of Milan (313 M) barulah Kekristenan mendapatkan tempat yang terhormat dan dapat berkembang pesat dan tersebar ke seluruh belahan dunia yang berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Roma. Seperti halnya akulturasi antara Budaya Islam dengan Budaya Hindu-Jawa, yang kemudian menjadi Islam-Jawa yang begitu khas dan kental dengan kejawen, Tradisi Yahudi-Kristen juga berakulturasi dengan Tradisi Roma, menghasilkan sintesa yang kita kenal sebagai Budaya dan Tradisi Kristen Modern yang dapat kita lihat paling jelas pada Ke-Paus-an Katholik Roma. Salah satu bentuk akulturasi budaya Yahudi Kristen-Pagan Romawi tersebut adalah Perayaan Hari Lahir Yesus Kristus pada tanggal 25 Desember yang mulai diresmikan oleh Gereja Katholik Roma pada abad ke-4 M. Itulah sekelumit Sejarah Natal dan Tanggal 25 Desember dalam Kekristenan.

Dalam perjalanan Epos Sejarah Bangsa ‘Garuda’ Indonesia, tanggal 25 Desember juga menyimpan suatu makna yang amat berarti dan mendalam. Karena pada tanggal 25 Desember di tahun 1912 inilah, untuk pertama kalinya terbentuk sebuah konsep idealisme dan gagasan yang bernama: Ke-INDONESIA-An. Insan Muda Indonesia mendukung agar tanggal 25 Desember segera ditetapkan oleh Pemerintah sebagai Hari Lahirnya Konsep Ke-INDONESIA-an.

Bandung, 25 Desember 1912
Indische Partij (Partai Hindia) didirikan oleh E.F.E Douwes Dekker, Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat, yang lebih dikenal dalam Sejarah Indonesia sebagai Tiga-Serangkai. Pada tanggal 25 Desember 1912, ini juga diadakan rapat umum (vergadering) yang pertama kalinya dalam Sejarah Pergerakan Bangsa Indonesia seperti digambarkan dengan begitu gagah oleh Takashi Shiraishi dalam bukunya: Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926: “… vergadering IP [Indische Partij] yang dibuat Douwes Dekker di Bandung pada 25 Desember, yang mungkin merupakan vergadering politik pertama di Hindia… begitu sukses sehingga aksi vergadering menjadi ciri yang paling menonjol dari gerakan…”

Memang Sejarah tidak mencatatat Indische Partij sebagai Organisasi Pertama yang didirikan oleh Bangsa Indonesia. Indische Partij didirikan baru pada 25 Desember 1912, terentang masa 4 tahun dengan didirikannya Boedi Oetomo (BO) di tahun 1908 oleh Mahasiswa Kedokteran STOVIA di Batavia, dan SDI (Sarekat Dagang Islamiyah) oleh R.M. Tirtoadhisoerjo di Bogor pada tahun 1909. Namun Indische Partij tercatat sebagai organisasi pertama menggunakan sebuah kata ‘Indische’ (Hindia) dan menggunakan format Partai Politik untuk Organisasinya. Pada masa itu, istilah ‘Indonesia’ belum dikenal dalam kosakata, dimana wilayah Indonesia masa kini yang merupakan jajahan kolonial Belanda yang diberi nama oleh Sang Penjajah Belanda sebagai Hindia-Belanda (Netherlands-Indie).

Nama Hindia (India) amat jamak digunakan oleh para kolonisator pada masa itu. Hal ini berkaitan dengan asal mula Kolonialisme yang berakar dari Penjelajahan Samudra yang dilakukan oleh para Conquistador Eropa di masa lalu seperti Columbus, Magellan, Vasco Da Gama, Pizzaro, Cortez, Cornelis De Houtman, dll. dalam mencari sumber rempah-rempah, yang mereka percayai berasal dari kepulauan India. Inggris yang menjadi koloni Inggris dinamai British-India, demikian juga Kepulauan Nusantara, yang berhasil ditaklukkan sepenuhnya setelah selesainya rangkaian Perang-Perang Kolonial (Perang Diponegoro, Perang Padri, Perang Aceh, dsb) pada awal 1900-an, dinamai Netherlands-Indie (Hindia Belanda) oleh sang kolonialis penjajah, Kerajaan Belanda.

Adalah Indische Partij (Partai Hindia) yang pertama kali menggunakan nama Hindia, karena memang Indische Partij mempunyai sebuah cita-cita dan gagasan yang merupakan cikal-bakal dari Ke-INDONESIA-an, yang jauh melampaui Boedi Oetomo (BO) dan Sarikat Dagang Islamijah (SDI). BO membatasi keanggotanya (hanya) pada lapisan atas Bangsawan dan Priyayi Jawa (saja), dan bertujuan untuk membangun kembali Kejayaan Kebudayaan Jawa (saja) dan mengikat tali-silaturahmi antara sesama kelas darah-biru Jawa (saja), sementara SDI yang kemudian bermetamorfosis menjadi Sarikat Islam yang bertujuan mengadakan advokasi bagi (hanya) kepentingan kelompok agama Islam (saja). Indische Partij mempunyai visi-misi mendahului masanya, melampaui cakrawala pemikiran dan gagasan pada zamannya, bagaikan meteor yang melesat cepat jauh melampaui orbitnya. Indische Partij menawarkan gagasan yang baru lagi revolusioner dan brilyan pada masanya: Sebuah Konsep Ke-INDONESIA-an yang Plural, dimana dikemudian hari ide-ide Indische Partij telah mewujud dalam sistem Ketatanegaraan NKRI 17 Agustus 1945, yang berdasarkan BHINNEKA TUNGGAL IKA.



Indische Partij adalah Organisasi Pertama dalam Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia yang memakai bentuk Partai Politik untuk mencapai tujuannya. Dan adalah juga Indische Partij yang pertama mencantumkan kata Mencapai Kemerdekaan (Pemerintahan-Sendiri) sebagai Tujuan Organisasi secara tegas tertulis dalam Anggaran Dasarnya. Dan puncak dari kecanggihan idealisme, gagasan, dan cita-cita yang berani dipahatkan Indische Partij pertama kalinya dalam guratan Prasasti Besar Sejarah Bangsa Indonesia adalah membuka keangotaannya bagi semua anak-negeri yang mendiami wilayah Hindia, dan yang merasa dirinya sebagai bagian dari Hindia, tanpa memandang latar-belakang suku, etnisitas, ras, agama, dan golongan. Suatu Gagasan yang menjadi cikal-bakal Ke-INDONESIA-an: INDONESIA FOR INDONESIANS!

Apabila visi misi Kekristenan bagi para penganutnya adalah Kelahiran Kembali di Surga bersama Allah Bapa Sang Pencipta, dapat dicapai melalui penyerahan diri dan penerimaan pada Yesus Kristus sebagai Juruselamat, dan realisasi dari ajaran wejangan Kristus Yesus dalam kehidupan sehari-hari para umat. Maka Insan Muda Indonesia, me-Yakin-i: bahwa visi misi Ke-INDONESIA-an bagi Seluruh Bangsa Indonesia adalah sebuah MIMPI INDONESIA (INDONESIAN DREAM), dimana INDONESIA mencapai PUNCAK KEJAYAAN-nya sebagai MERCU-SUAR DUNIA, sebagai repetisi sejarah masa Dinasti Majapahit lampau yang [akan dan harus] berulang. INDONESIAN DREAM ini BISA, PASTI BISA, dan HARUS BISA tercapai melalui Penerimaan pada KONSEP Ke-INDONESIA-an sebagai JURUSELAMAT, dan pengamalan dari nilai nilai KONSEP Ke-INDONESIA-an itu sebagai Kebiasaan dan Kebanggaan dalam tiap-tiap tindak, pikir, ucap, laku, dan kata. JURUSELAMAT bagi INDONESIA itu adalah sebuah konsep, sebuah gagasan, ide Ke-INDONESIA-an, dimana setiap individu yang lahir, besar, tinggal, dan hidup di negeri ini harus berpikir sebagai BANGSA INDONESIA, dengan meleburkan semua ego-ego dan identitas yang lebih sempit (agama, suku, ras, etnisitas, tribal, primordial, kelas ekonomi, dll sebagainya) untuk kemudian BERSATU menjadi satu bangunan yang lebih besar nan utuh bernama INDONESIA.

Konsep PERSATUAN dalam KONSEP Ke-INDONESIA-An yang digagas Tiga Serangkai melalui Indische Partij bagaikan iblis yang begitu menakutkan bagi rezim kolonial Hindia-Belanda. Sejak 25 Desember 1912, dua kali pengajuan Indische Partij kepada Pemerintah Hindia-Belanda untuk menjadi Badan Hukum ditolak mentah-mentah, dimana penolakan resmi dikeluarkan pada tanggal 11 Maret 1913, langsung oleh Gubernur Jenderal A.W.F Indenburg; yang menempati titik teratas kekuasaan penindas kolonial Kerajaan Belanda di Hindia (Indonesia) saat itu. Tiga Bulan sejak Pendirian dan Rapat Umum Indische Partij, tepatnya pada tanggal 31 Maret 1913, Tiga Serangkai ditangkap oleh Pemerintah Hindia-Belanda, untuk kemudian diasingkan ke Belanda. Indische Partij dinyatakan sebagai Partai Terlarang di seluruh yurisdiksi Hindia-Belanda. Iblis yang bernama INDONESIA itu telah diringkus oleh Kolonial Belanda, awalnya seakan Iblis itu seakan-akan telah berhasil ditundukkan oleh Sang Ratu, akan tetapi INDONESIA bukan Indische Partij, Boedi Oetomo, SDI, PNI, Indonesia Moeda, atau lain-lain organisasi berbentuk yang fana lainnya. INDONESIA adalah sebuah konsep, sebuah ide, gagasan, cita-cita, dan mimpi yang abadi dan niskala.

Akhirnya Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda yang mencoba menaklukkan Iblis tersebut menjadi pihak yang tertakluk dan ternista dalam Sejarah Kemanusiaan, dan Iblis INDONESIA tersebut menang dalam pertarungan di Panggung Sejarah. Mungkin Iblis sesungguhnya yang amat ditakuti Penjajah Belanda itu sebenarnya adalah angka 33. Kira-kira 33 tahun kemudian, tepat pada tanggal 17 Agustus 1945, jam 10:00 Pagi, INDONESIA memproklamasikan dirinya.

Creedy : “Die! Die! Why won’t you die? … Why won’t you die?
V : “Beneath this mask there is more than flesh. Beneath this mask there is an idea,
Mr. Creedy, and ideas are bulletproof”.
‘V for Vendetta’ (Film / 2005)

Apabila Karl Marx (1808 – 1883) meyakini perulangan dari sejarah sebagai suatu orbit tanpa henti, maka Konsep Ke-INDONESIA-An yang sudah menjadi JURUSELAMAT yang membawa Kemerdekaan dalam Perang Bharatayudha antara Pandawa INDONESIA melawan Kurawa Penghisapan dan Penindasan Sistem Kolonialisme Belanda, akan kembali menjadi JURUSELAMAT yang membawa INDONESIA ke Puncak Kejayaannya, menjadi MERCU-SUAR DUNIA.

Wahai, Insan Muda Indonesia, dari Sabang Sampai Merauke, apakah engkau Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Taoist, Konghucu, Sosialis, Agnostik, atau bahkan Atheis, tak peduli engkau Jawa, Betawi, Tionghoa, Arab, Sunda, Menado, Papua, Batak; Bersatulah di bawah Baluran Sang Saka Merah Putih, untuk bersama-sama kita bersatu untuk meneriakkan mantra sakti mandraguna: BHINNEKKA TUNGGAL IKA, sambil berbaris dalam satu barisan menuju TAKDIR SEJARAH BANGSA GARUDA. Indonesia Pusaka, Tercinta Selamanya! Bagimu Jiwa dan Raga! PERSATUAN dan NASIONALISME akan membawa kita bersama kesana.